“Membaca beberapa lembar awal Novel Berlayar tanpa Kompas
ini, saya masih bisa tersenyum dan mengatakan bahwa penulisnya adalah orang
yang sakit jiwanya. Namun di lembat-lembar akhir, saya jadi berfikir ulang….
Pembacanya pasti juga sedang sakit jiwanya. Dan ketika mengakhiri membaca novel
ini, saya seakan ingin cepat-cepat memberitahu anak perempuan saya yang baru
berusia 10 hari “Selamat menempuh Bahtera Kehidupan baru di Dunia yang
masyarakatnya sedang sakit ini nak…, jadikan buku ini sebagai petunjuk awal
mencari kompas dalam pelayaranmu, ingatlah nak… meski sudah kau dapatkan Kompas
itu, kadang angin tak selalu berpihak pada kita. namun kau harus tetap
istiqomah”
Atau yang lebih simple :
Ditulis oleh jiwa yang sakit untuk masyarakat sakit jiwa yang suka menjual papan penunjuk arah dibalik punggungnya.”(Je Elysanto, Pencipta Lagu-lagu Genk Kobra)
Atau yang lebih simple :
Ditulis oleh jiwa yang sakit untuk masyarakat sakit jiwa yang suka menjual papan penunjuk arah dibalik punggungnya.”(Je Elysanto, Pencipta Lagu-lagu Genk Kobra)
“Sebuah kisah yang menarik tentang pencarian makna kehidupan
di tengah arus budaya modern yang serba membingungkan ini. Bisa menjadi cermin
dan pembelajaran yang berguna bagi siapapun yang membacanya”
(Mohammad Zazuli, Penulis Best Seller “Syekh Siti Jenar-Mengungkap
Misteri dan Rahasia Kehidupan)
“Pengekangan selalu membutuhkan energi. Pengekangan terhadap
masa lalu yang dirasa kelam tak ubahnya menutupi ‘borok’ luka.
Sesaat luka tidak terlihat tapi dalam jangka panjang kita hanya membuatnya semakin bernanah.
Penulis melakukan salah satu langkah pembebasan diri yang luar biasa dari pengekangan batin melalui kejujurannya mengungkapkan kisah hidupnya dalam buku ini. Bukan pekerjaan yang mudah, tapi begitu keberanian terkumpul, apa yang tadinya dianggap aib diri berubah menjadi makna mendalam yang dapat dibagikan untuk memperkaya kehidupan sesama.
Dan pada akhirnya keberanian membuka penutup luka itulah yang akan membawa setiap orang pada penyembuhan diri yang sesungguhnya. Membaca buku ini saya merasa melihat keberanian melenggang dalam alur yang indah.”
Sesaat luka tidak terlihat tapi dalam jangka panjang kita hanya membuatnya semakin bernanah.
Penulis melakukan salah satu langkah pembebasan diri yang luar biasa dari pengekangan batin melalui kejujurannya mengungkapkan kisah hidupnya dalam buku ini. Bukan pekerjaan yang mudah, tapi begitu keberanian terkumpul, apa yang tadinya dianggap aib diri berubah menjadi makna mendalam yang dapat dibagikan untuk memperkaya kehidupan sesama.
Dan pada akhirnya keberanian membuka penutup luka itulah yang akan membawa setiap orang pada penyembuhan diri yang sesungguhnya. Membaca buku ini saya merasa melihat keberanian melenggang dalam alur yang indah.”
(Wahyu Bramastyo, Konselor , Penulis “ Depresi No Way” &
“ Biarkan Hujan Menyembuhkanmu”)
“Keseluruhan alur cerita dikemas secara lugas. Ada beberapa bahasa yg kurang dapat dimengerti karena perbedaan faktor budaya. Tapi itu bukan alasan buat ga nikmatin isi cerita. “
(Rumaisya Maharani Ismail, 22th, Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang)
“Wow! Cerita mainstream yg jarang diangkat menjadi cerita dalam novel. Kendala dalam membaca hanyalah bahasa daerah yg diselipkan ke dalam naskah. Emosi cukup termainkan. Bagus!”(Muhammad Jusuf, 22th, Mahasiswa IT Universitas Bina Nusantara, Jakarta)
“Buku yang luar biasa, masing-masing kisah mengandung muatan
perasaannya yang kuat, penggunaan sajak puisi maupun lagu disini semakin
memperkuat emosi yang ingin dimunculkan, disisi lain saat mengikuti alur
kisah-kisah yang bercerita disini, pikiran kita dijernihkan, sudut pandang kita
diajak berkeliling kesisi yang sebelumnya mungkin belum pernah kita datangi
dalam memandang suatu hal. Jika anda ingin mengenal suatu langkah yang akan
membawa anda pada suatu transformasi, maka buku ini akan menjadi pilihan yang
tepat.”
(Leonar Yogi, Owner Sekolah Kehidupan , Therapist & Divination Master)
(Leonar Yogi, Owner Sekolah Kehidupan , Therapist & Divination Master)
“ Damn! Adalah kata pertama yang muncul di kepala saat
selesai membaca tulisan ini. Saya merasa tertampar! Saya tergurui secara
psikologis!”
(Patricia Julensky, Mahasiswi Fakultas Psikologi
UNISSULA-Semarang)
“Membaca Berlayar Tanpa Kompas adalah kerelaan kita
menceburkan diri di laut yang niscaya, kita akan benar-benar tidak bisa
bertanya kita akan dibawa kemana.”(Arif Fitra Kurniawan, Penyair dan Penulis
dari Komunitas Sastra Semarang ‘Lacikata’ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar