Jumat, 09 November 2012

KATA PENGANTAR 'BERLAYAR TANPA KOMPAS '



Bismillahirrahmaanirrahiem

PENGANTAR

                Ada yang menyedak dalam dada, ketika penulis buku ini –merry dan cheryn- meminta saya menulis pengantar. Betapa tidak? Buku ini adalah ungkapan ketakberdayaan, ketiadaan harapan, dan keputusasaan. Inilah nasib jiwa-jiwa melankolis imut-imut, lugu, dan lembut, yang harus berhadapan dengan tirani kapitalisme lanjut seperti sekarang ini. Mereka hidup dalam ketegangan eksistesial dan tarik menarik yang terus menerus. Antara kesadaran dan ketidaksadaran. Antara kemampuan dan ketidakmampuan memaknai hidup. Antara keceriaan dan kediaman. Antara kasih dan dendam. Antara serius dan main-main. Tentu saya tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana kepiluan hidup demikian ini yang sesungguhnya. Saya hanya penonton yang erklaren. Merembug faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya menjadi penentu munculnya gejala-gejala skizofren ini. Dengan kata lain gejala-gejala skizofren ini adalah konstruk dari kapitalisme lanjut sekarang ini. Jadi, kapitalisme lanjut yang impersonal demikian inilah yang bertanggung jawab atas skizofrenia yang diderita anak-anak seperti merry dan cheryn.
Melepaskan kapal jiwa dan hati nurani anak-anak kita ke tengah lautan kapitalisme lanjut ini, tentu saja seperti melepas biduk kecil ke tengah samudra luas dengan deburan gelombang yang mengerikan. Mereka terapung-apung di tengah masyarakat konsumer. Seperti apa yang penulis tuliskan, bahwa mereka seperti berlayar tanpa arah dan tanpa pengarah (kompas). Lautan kapitalisme global disebut juga sebagai lautan masyarakat konsumer[1]. Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang hanya bisa melakukan tindakan konsumsi. Masyarakat yang “taat kepada seperti mayat”. Atau masyarakat yang “taat tanpa kayid” kepada kapitalisme. Konsumsi dalam masyarakat konsumer atau kapitalisme global bukan lagi berlandaskan nilai utilitas (manfaat) dan logika kebutuhan (need). Ia sudah bergeser menjadi logika hasrat, atau nafsu. Logika nafsu/ hasrat ini –di tahapan imajiner- masih memiliki obyek. Yakni sasaran untuk memenuhi nafsu/ hasrat tersebut. Namun sekali kita memenuhi permintaan nafsu/ hasrat, maka muncul nafsu-nafsu yang lebih tinggi tingkatannya. Maka keinginan mengonsumsi bukan lagi karena kekurangan alamiyah, melainkan sudah merupakan sebuah lack. Artinya perasaan kekurangan yang tanpa batas dan tak terkendali. Jika sudah demikian, maka tiada obyek yang dapat memenuhi hasrat/ nafsu.
Lack ini kemudian mengendap menjadi bawah sadar. Sementara kesadaran dan logika hanya sibuk menciptakan nilai-nilai yang melegitimasi tindakan konsumsinya. Nilai-nilai konsumer ini bisa diakses dari rasionalitas logika, dan bahkan dari agama dan kitab suci. Lack terus menerus mendesak-desak dan meledak-ledak di bawah sadar. Sementara nalar dan rasionalitas sibuk terus menerus menciptakan nilai utilitasnya. Hiruk pikuk bawah sadar dan kesadaran logis dalam merespon tawaran produk obyek-obyek hasrat ini menimbulkan histeria dan kepanikan. Sementara obyek-obyek hasrat datang terus menerus silih berganti dalam kecepatan sangat tinggi. Tak ada lagi ruang untuk merenung dan memaknai tindakan konsumsi. Bahkan makna dan nilai itu sendiri akhirnya lenyap dalam kehidupan. Inilah masyarakat konsumer yang skizofren, sebagai mana disebut oleh Lacan. Ia adalah seorang filsuf  dari tradisi psikoanalisa.
Dick Hebdige juga menambahkan bahwa sekarang ini terdapat konsumer-skizofren. Mereka terdisintegrasi, split, dan histeris di dalam badai instan dan kesesaatan. Mereka tak berdaya dan tak mampu mencerna dan memaknainya. Mereka terperangkap dalam badai yang mengharuskan mereka mengganti citra baru tentang dirinya secara terus menerus. Mereka hanyut dalam badai chronos, yaitu berganti dari ini-lalu yang ini- lalu yang ini- lalu yang ini. Fitrahnya lenyap karena tak mampu menemukan jalan menuju kairos. Yaitu kehidupan yang tentram, siklus, mistis, dan bermakna.
Peter York menambahi bahwa dalam masyarakat konsumer-skizofren tidak ada penjelasan mengenai apa yang dikatakan, terlalu banyak gaya, terlalu banyak pilihan, terlalu banyak lakon, terlalu banyak tanda, terlalu banyak peran. Sehingga terlalu banyak juga cermin tempat orang berkaca demi menemukan citra cermin dirinya. Namun celakanya ia hanya menemukan refleksi dirinya berupa pergantian tanpa akhir. Apa yang dipantulkan cermin bukan lagi rangkaian makna-makna hidup. Melainkan citra dirinya yang selalu berganti secara terus menerus. Dalam kondisi tertentu, ketika sang skizofren berada di puncak ketakberdayaannya, ia bisa mengalami tak sadar dan atau pingsan. Ia sama sekali menjadi tanpa daya dan tanpa makna. Ia bahkan tak berdaya untuk meninggalkan dirinya sendiri.

Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

                Demikian eyang RNg Ranggawarsita. Ketika harus berhadapan dengan jaman masyarakat skizofren ini. Budi pekerti serba direpotkan. Jika ikut histeria masal kita tak akan tahan. Tapi jika tidak ikut-ikutan histeris, tak bisa memenuhi lack (kaliren, perasaan kebutuhan tanpa batas) yang selalu mendesak. Tapi bagaimanapun juga ketetapan Allah SWT tetap berlaku. Bahwa betapapun beruntungnya orang yang lalai, akan lebih beruntung lagi orang-orang yang takwa dan bersandar kepada Ilahi.
Nah, karena itu membaca novel ini menjadi penting. Anda akan “menyaksikan” sendiri sebuah fakta kultural kontemporer. Yakni bagaimana skizofrenia sistemik dari kapitalisme global, meresap menjadi psikopatologi orang per orang dalam masyarakat konsumer kapitalisme global sekarang ini.  Fakta ini bukan untuk didiskriditkan dan dijauhi. Karena itu tidak mungkin. Melainkan untuk disadari, dan sebagai bahan introspeksi dan koreksi diri.

Ya Allah, ya Rosulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mugi-mugi wontena pitulung Tuwan

Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh karuhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
Borong angga sawarga mesi martaya

                Sekar sinom eyang RNg Ranggawarsita melanjutkan agar segera berserah diri kepada Gusti Allah SWT dan Gusti Kangjeng Nabi Muhammad SAW.  Ya Allah, wahai Kangjeng Rosul. Wahai yang memiliki sifat murah dan asih. Berkenanlah memberikan karunia pertolongan. Dalam segenap alam awal-akhir. Di mana hamba harus hidup. Padahal diri ini sudah renta kelelahan. Tak tahu harus bagaimana lagi. Tak tahu harus kemana lagi. Jika bukan kepada pertolongan Paduka.
                Jadikanlah kami orang yang sabar dan sejahtera. Sanggup meninggalkan gegap gempita dan  gemerlap dunia. Terhindar dari hati yang hiruk-pikuk dan kalut. Tersingkir dari angkaramurka. Ijinkan kami hanya mengharap asih Paduka. Dengan berbekal hati yang patuh. Tersingkapnya segala prahara. Berganti kemurahanMu yang tanpa batas. KepadaMu kami pasrahkan segenap jiwa raga.
Dengan membaca buku ini, anda juga akan menyadari betapa pentingnya meluangkan waktu untuk berlatih berserah diri kepada Tuhan YME. Meninggalkan khawatir dan histeria. Berani keluar dari pusaran hiruk pikuk dan eforia jaman. Berani cool-down, berdiam diri, dan nampak seperti tidak produktif. Lalu merenung dan sejenak melegakan hati dari gegap gempitanya jaman. Dengan kata lain, betapa pentingnya sejenak meluangkan waktu untuk uzlah, menyepi, atau i’tikaf. Selamat membaca.

Ki Herman Sinung Janutama
Sapen, Selasa Kliwon, 15 Agustus 2012



[1] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, 2003, hal. 143-152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar