Bismillahirrahmaanirrahiem
PENGANTAR
Ada
yang menyedak dalam dada, ketika penulis buku ini –merry dan cheryn- meminta
saya menulis pengantar. Betapa tidak? Buku ini adalah ungkapan ketakberdayaan, ketiadaan
harapan, dan keputusasaan. Inilah nasib jiwa-jiwa melankolis imut-imut, lugu, dan lembut, yang harus
berhadapan dengan tirani kapitalisme lanjut seperti sekarang ini. Mereka hidup
dalam ketegangan eksistesial dan tarik menarik yang terus menerus. Antara
kesadaran dan ketidaksadaran. Antara kemampuan dan ketidakmampuan memaknai
hidup. Antara keceriaan dan kediaman. Antara kasih dan dendam. Antara serius
dan main-main. Tentu saya tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana kepiluan hidup
demikian ini yang sesungguhnya. Saya hanya penonton yang erklaren. Merembug faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya
menjadi penentu munculnya gejala-gejala skizofren ini. Dengan kata lain
gejala-gejala skizofren ini adalah konstruk dari kapitalisme lanjut sekarang
ini. Jadi, kapitalisme lanjut yang impersonal demikian inilah yang bertanggung
jawab atas skizofrenia yang diderita anak-anak seperti merry dan cheryn.
Melepaskan kapal jiwa dan hati
nurani anak-anak kita ke tengah lautan kapitalisme lanjut ini, tentu saja
seperti melepas biduk kecil ke tengah samudra luas dengan deburan gelombang
yang mengerikan. Mereka terapung-apung di tengah masyarakat konsumer. Seperti
apa yang penulis tuliskan, bahwa mereka seperti berlayar tanpa arah dan tanpa
pengarah (kompas). Lautan kapitalisme global disebut juga sebagai lautan
masyarakat konsumer[1]. Masyarakat
konsumer adalah masyarakat yang hanya bisa melakukan tindakan konsumsi.
Masyarakat yang “taat kepada seperti mayat”. Atau masyarakat yang “taat tanpa
kayid” kepada kapitalisme. Konsumsi dalam masyarakat konsumer atau kapitalisme
global bukan lagi berlandaskan nilai utilitas (manfaat) dan logika kebutuhan
(need). Ia sudah bergeser menjadi logika hasrat,
atau nafsu. Logika nafsu/ hasrat ini –di tahapan imajiner- masih memiliki
obyek. Yakni sasaran untuk memenuhi nafsu/ hasrat tersebut. Namun sekali kita
memenuhi permintaan nafsu/ hasrat, maka muncul nafsu-nafsu yang lebih tinggi
tingkatannya. Maka keinginan mengonsumsi bukan lagi karena kekurangan alamiyah, melainkan sudah merupakan sebuah lack. Artinya perasaan kekurangan yang tanpa batas dan tak terkendali. Jika sudah
demikian, maka tiada obyek yang dapat memenuhi hasrat/ nafsu.
Lack ini kemudian mengendap menjadi bawah sadar. Sementara
kesadaran dan logika hanya sibuk menciptakan nilai-nilai yang melegitimasi
tindakan konsumsinya. Nilai-nilai konsumer ini bisa diakses dari rasionalitas
logika, dan bahkan dari agama dan kitab suci. Lack terus menerus mendesak-desak dan meledak-ledak di bawah sadar.
Sementara nalar dan rasionalitas sibuk terus menerus menciptakan nilai
utilitasnya. Hiruk pikuk bawah sadar dan kesadaran logis dalam merespon tawaran
produk obyek-obyek hasrat ini menimbulkan histeria dan kepanikan. Sementara
obyek-obyek hasrat datang terus menerus silih berganti dalam kecepatan sangat
tinggi. Tak ada lagi ruang untuk merenung dan memaknai tindakan konsumsi.
Bahkan makna dan nilai itu sendiri akhirnya lenyap dalam kehidupan. Inilah
masyarakat konsumer yang skizofren, sebagai mana disebut oleh Lacan. Ia adalah
seorang filsuf dari tradisi
psikoanalisa.
Dick Hebdige juga menambahkan
bahwa sekarang ini terdapat konsumer-skizofren. Mereka terdisintegrasi, split,
dan histeris di dalam badai instan dan kesesaatan. Mereka tak berdaya dan tak
mampu mencerna dan memaknainya. Mereka terperangkap dalam badai yang
mengharuskan mereka mengganti citra baru tentang dirinya secara terus menerus.
Mereka hanyut dalam badai chronos, yaitu
berganti dari ini-lalu yang ini- lalu yang ini- lalu yang ini. Fitrahnya lenyap
karena tak mampu menemukan jalan menuju kairos.
Yaitu kehidupan yang tentram, siklus, mistis, dan bermakna.
Peter York menambahi bahwa dalam
masyarakat konsumer-skizofren tidak ada penjelasan mengenai apa yang dikatakan,
terlalu banyak gaya, terlalu banyak pilihan, terlalu banyak lakon, terlalu
banyak tanda, terlalu banyak peran. Sehingga terlalu banyak juga cermin tempat
orang berkaca demi menemukan citra cermin dirinya. Namun celakanya ia hanya
menemukan refleksi dirinya berupa pergantian tanpa akhir. Apa yang dipantulkan
cermin bukan lagi rangkaian makna-makna hidup. Melainkan citra dirinya yang
selalu berganti secara terus menerus. Dalam kondisi tertentu, ketika sang
skizofren berada di puncak ketakberdayaannya, ia bisa mengalami tak sadar dan atau
pingsan. Ia sama sekali menjadi tanpa daya dan tanpa makna. Ia bahkan tak
berdaya untuk meninggalkan dirinya sendiri.
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
Demikian
eyang RNg Ranggawarsita. Ketika harus berhadapan dengan jaman masyarakat
skizofren ini. Budi pekerti serba direpotkan. Jika ikut histeria masal kita tak
akan tahan. Tapi jika tidak ikut-ikutan histeris, tak bisa memenuhi lack (kaliren, perasaan kebutuhan tanpa
batas) yang selalu mendesak. Tapi bagaimanapun juga ketetapan Allah SWT tetap
berlaku. Bahwa betapapun beruntungnya orang yang lalai, akan lebih beruntung
lagi orang-orang yang takwa dan bersandar kepada Ilahi.
Nah, karena itu membaca novel ini
menjadi penting. Anda akan “menyaksikan” sendiri sebuah fakta kultural
kontemporer. Yakni bagaimana skizofrenia sistemik dari kapitalisme global, meresap
menjadi psikopatologi orang per orang dalam masyarakat konsumer kapitalisme
global sekarang ini. Fakta ini bukan
untuk didiskriditkan dan dijauhi. Karena itu tidak mungkin. Melainkan untuk
disadari, dan sebagai bahan introspeksi dan koreksi diri.
Ya Allah, ya Rosulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mugi-mugi wontena pitulung Tuwan
Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh karuhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
Borong angga sawarga mesi martaya
Sekar
sinom eyang RNg Ranggawarsita melanjutkan
agar segera berserah diri kepada Gusti Allah SWT dan Gusti Kangjeng Nabi
Muhammad SAW. Ya Allah, wahai Kangjeng
Rosul. Wahai yang memiliki sifat murah dan asih. Berkenanlah memberikan karunia
pertolongan. Dalam segenap alam awal-akhir. Di mana hamba harus hidup. Padahal
diri ini sudah renta kelelahan. Tak tahu harus bagaimana lagi. Tak tahu harus
kemana lagi. Jika bukan kepada pertolongan Paduka.
Jadikanlah
kami orang yang sabar dan sejahtera. Sanggup meninggalkan gegap gempita
dan gemerlap dunia. Terhindar dari hati
yang hiruk-pikuk dan kalut. Tersingkir dari angkaramurka. Ijinkan kami hanya
mengharap asih Paduka. Dengan berbekal hati yang patuh. Tersingkapnya segala
prahara. Berganti kemurahanMu yang tanpa batas. KepadaMu kami pasrahkan segenap
jiwa raga.
Dengan membaca buku ini, anda juga
akan menyadari betapa pentingnya meluangkan waktu untuk berlatih berserah diri
kepada Tuhan YME. Meninggalkan khawatir dan histeria. Berani keluar dari
pusaran hiruk pikuk dan eforia jaman. Berani cool-down, berdiam diri, dan nampak seperti tidak produktif. Lalu merenung
dan sejenak melegakan hati dari gegap gempitanya jaman. Dengan kata lain,
betapa pentingnya sejenak meluangkan waktu untuk uzlah, menyepi, atau i’tikaf.
Selamat membaca.
Ki Herman Sinung Janutama
Sapen, Selasa Kliwon, 15 Agustus 2012
[1]
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika,
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, 2003, hal. 143-152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar